bpkad


 

Keadilan Sosial Bukan Slogan, Tetapi Amanat Konstitusi


Sapajambi.com-
*Oleh: Nayla Naural Ishmah*Bangsa ini lahir dengan janji besar: mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji itu tertulis jelas dalam Pembukaan UUD 1945, ditegaskan kembali dalam Pasal 33 dan Pasal 34. Namun, lebih dari tujuh dekade merdeka, janji itu sering kali terdengar seperti slogan kosong. Sementara di satu sisi kita melihat gedung-gedung pencakar langit menjulang, di sisi lain kita menyaksikan rakyat kecil berjuang bertahan hidup dengan keringat dan air mata.


Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tetapi, apakah benar kekayaan alam negeri ini dinikmati oleh seluruh rakyat? Faktanya, banyak kebijakan justru membuat sumber daya alam dikuasai segelintir korporasi, sementara masyarakat sekitar hanya menjadi penonton yang hidup di tengah keterbelakangan.


Pendekatan hukum konstitusi mengajarkan kita bahwa setiap kebijakan ekonomi tidak boleh semata-mata berorientasi pada pertumbuhan, tetapi harus menekankan pemerataan. Konstitusi tidak pernah mengamanatkan kekayaan bangsa ini untuk memperkaya elit atau korporasi asing. Konstitusi mengamanatkan agar kekayaan itu dinikmati oleh rakyat secara adil. Maka, ketika kesenjangan ekonomi semakin melebar, itu bukan hanya kegagalan pembangunan, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.


Ironisnya, di tengah janji keadilan sosial, kita masih menyaksikan rakyat kecil yang terpinggirkan dari layanan dasar. Kemiskinan tetap menjadi wajah buram negeri ini. Jutaan orang belum mendapat jaminan kesehatan yang layak, sementara sebagian lainnya tidak mampu mengakses lapangan kerja yang memadai. Apakah ini yang dimaksud keadilan sosial?


Sebagai mahasiswa hukum, saya tidak bisa diam melihat konstitusi diperlakukan hanya sebagai formalitas. Konstitusi bukanlah kata-kata indah untuk dibacakan saat upacara, tetapi mandat nyata untuk diperjuangkan. Dan mandat itu jelas: negara harus hadir dalam menjamin kesejahteraan, melindungi yang lemah, dan mendistribusikan hasil pembangunan secara adil.


Kita harus berani bersuara: keadilan sosial bukanlah hadiah, tetapi hak konstitusional rakyat. Setiap kebijakan yang memperlebar jurang antara kaya dan miskin adalah pengkhianatan terhadap konstitusi. Setiap korupsi anggaran, setiap izin tambang yang merampas hak rakyat, adalah bentuk perampokan terhadap kedaulatan bangsa.


Pendekatan hukum konstitusi menuntut kita untuk menjadikan Pasal 33 dan 34 bukan sekadar teks, tetapi pijakan nyata dalam setiap kebijakan ekonomi. Karena tanpa keadilan sosial, konstitusi hanyalah janji yang dikhianati, dan bangsa ini hanya akan menjadi negeri kaya yang rakyatnya miskin.


Konstitusi sudah bicara. Kini giliran kita menagih. Karena keadilan sosial bukan utopia, tetapi amanat sejarah yang wajib ditegakkan.


*Nayla Naural Ishmah* Mahasiswa Hukum Tata Negara

Redaksi